INVESTASI PADA KOPERASI
Oleh:
Achmad H. Gopar
Koperasi sebagai badan usaha adalah sebuah
lembaga dinamis yang perlu mengembangkan lembaganya dan memperbesar usahanya.
Untuk memperbesar usahanya tersebut koperasi memerlukan modal, baik yang
berasal dari internal koperasi maupun yang berasal dari eksternal koperasi.
Ketika modal sendiri yang berasal dari anggota tidak mencukupi, maka koperasi
harus mencari modal dari luar koperasi. Dengan kata lain, koperasi memerlukan
investasi dari luar.
Model Kelembagaan Untuk
Berinvestasi Pada Koperasi
Investasi pada koperasi memberikan konsekuensi
kelembagaan pada koperasi, baik pada bentuk kelembagaannya maupun pada sistem
operasional dan prosedurnya. Setidaknya ada tiga bentuk kelembagaan sebagai
konsekuensi adanya investasi pada koperasi, yaitu: investasi langsung pada
kegiatan usaha koperasi, investasi pada unit usaha otonom koperasi, dan
investasi pada perseroan milik koperasi.
Investasi langsung
pada kegiatan usaha koperasi biasanya dilakukan untuk menambah modal pada
satu kegiatan usaha koperasi yang sedang berkembang. Model
kelembagaan pada pelaksanaan investasi seperti ini menimbulkan konsekuensi
yang paling kompleks karena dua hal; hak suara dan hak keuntungan.
Investasi pada model ini tidak mempunyai hak suara (nonvoting stock),
karena hanya anggota yang mempunyai hak suara. Oleh karena itu investor
tidak mempunyai hak untuk pengelolaan dan pengawasan, yang berakibat pada
lemahnya akses untuk penentuan hak keuntungan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut hal hal yang menjadi sumber wanpretasi
biasanya dinegosiasikan sejak awal dan dituangkan dalam surat perjanjian
investasi. Mengingat kompleksitasnya, biasanya koperasi menawarkan
model investasi dengan tingkat pendapatan tetap, baik berupa nilai nominal
maupun berupa prosentase tertentu dari keuntungan.
Investasi pada
unit usaha otonom koperasi lebih mudah dan fleksibel lagi. Pada model
ini pengelolaan dan administrasi dilakukan sendiri secara otonom oleh unit
usaha koperasi, sehingga investor lebih mudah untuk mengikuti
perkembangannya. Namun demikian investor tetap tidak bisa ikut dalam
pengelolaan dan pengawasan, karena dua kegiatan tersebut dilakukan
oleh dan atas nama koperasi. Investor dapat mengikuti perkembangannya
melalui sistem pelaporan. Oleh karena itu sistem pelaporan operasional
menjadi hal penting yang harus masuk dalam perjanjian.
Model ketiga
adalah investasi pada badan usaha atau perseroan milik koperasi. Karena investasi
dilakukan ke perseroan, yang berlaku adalah peraturan dan undang
undang perseroan. Pada model ini, jika investasi dilakukan dalam bentuk penyertaan
modal, maka kepemilikan, pengelolaan dan pengawasan dilakukan
bersama antara koperasi dan investor secara proporsional sesuai dengan
besarnya investasi yang disertakan. Beda halnya jika investasi yang
dilakukan dalam bentuk modal penyertaan, dimana kerjasama
investasi dituangkan dalam bentuk perjanjian investasi antara koperasi dan
investor. Model pertama dan kedua biasanya hanya diminati
oleh anggota koperasi, sedangkan pada model ketiga lebih bisa menarik
investor non anggota, baik perseorangan maupun badan usaha. Sayangnya,
Ketiga model kelembagaan untuk berinvestasi di koperasi ini belumlah
banyak dipahami oleh masyarakat. Hal ini akan berdampak buruk jika ada
yang memanfaatkan koperasi untuk memobilisasi modal dari masyarakat.
Beberapa kasus yang terjadi tergolong cukup besar karena telah berhasil
menggalang dana trilyunan rupiah, seperti kasus koperasi Langit Biru dan
Koperasi Cipaganti.
Kasus Koperasi Langit Biru dan
Koperasi Cipaganti
Keberhasilan berinvestasi ke koperasi tidaklah
seberapa mencuat dibandingkan pengalaman buruk berinvestasi ke koperasi, yang
telah menjadi lebaran hitam yang lebih meluruhkan citra koperasi. Kasus di dua
koperasi tersebut terjadi diawali oleh hal yang sama; koperasi memobilisasi
modal dari masyarakat dengan imbalan keuntungan tetap kepada investor, yaitu
keuntungan bunga yang melebihi tingkat pasar, bahkan tingkat keuntungan
koperasi sendiri. Investor menjadi tertarik tanpa memahami jika investasi
tersebut seharusnya menanggung risiko. Ketika
keuntungan usaha tidak mencukupi untuk membayar kewajiban koperasi kepada
investor, saat itulah mulai terjadi gejolak. Untuk itu perlu dikaji perjanjian
usaha antara investor dan koperasi, karena untung rugi dalam berusaha adalah
biasa, dan jika terjadi kerugian investor pun harus mafhum jika mereka harus
menanggung kerugian tersebut.
Bagaimana ini bisa
terjadi? Jika koperasi memberikan keuntungan dengan tingkat bunga tetap,
seharusnya investasi diperlakukan sebagai penjualan surat berharga biasa.
Namun pola ini mungkin menjadi tidak menarik bagi masyarakat luas. Oleh
karena itu, mereka menggunakan peluang yang ada di koperasi, yaitu melalui
skim modal penyertaan. Skim ini unik karena tidak mencakup
kepemilikan dan hanya diatur dengan surat perjanjian, beda dengan penyertaan
modal yang berdampak kepada kepemilikan badan usaha. Sayangnya PP
33 tahun 1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi belum dieksplorasikan
secara maksimal untuk memupuk permodalan koperasi secara baik dan benar,
terutama yang menyangkut operasional koperasi terhadap masyarakat diluar
koperasi.
Penutup
Untuk
mengembangkan usahanya koperasi seharusnya tidak hanya bertumpu pada modal
sendiri yang umumnya terbatas. Sebagaimana kita ketahui, modal sendiri
koperasi umumnya hanya berasal dari simpanan anggota dan keuntungan usaha,
biasanya sangat terbatas untuk digunakan mengembangkan usaha secara cepat.
Mengundang investasi pada koperasi merupakan salah satu opsi yang
dapat dilakukan oleh koperasi untuk mengatasi permasalahan permodalannya
yang terbatas. Beberapa hal menjadi sangat penting bagi
investor untuk menjadi bahan pertimbangan sebelum menanamkan modalnya pada
suatu usaha koperasi, misalnya kepastian usaha, transparansi pelaporan,
pembagian keuntungan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu koperasi harus
selalu berinovasi untuk lebih menarik investasi, dengan tanpa meninggalkan
jati dirinya dan tetap memegang teguh prinsip prinsip dasar yang
menjadi pedoman bagi koperasi dalam melaksanakan kegiatannya.
*) Achmad H.Gopar, peneliti
koperasi, jebolan Center for Cooperatives, University of Wisconsin-Madison.

Komentar
Posting Komentar